ilustrasi: e-paper pikiran rakyat/crop |
Sebuah Rumah di Bawah Menara
cerpen: Tjak S Parlan
Di tempat ini, senja segera saja membakar kaki
cakrawala. Di batas pandang matanya yang mulai lamur oleh usia, ia menyaksikan
kapal-kapal itu datang dan pergi. Kecuali senja, tak ada satu pun dari yang
datang dan pergi itu berkenan singgah di tempatnya. Sudah sangat lama: waktu
melata di sebuah menara, sebuah rumah kecil, juga seorang penghuni.
******
Senja
mulai tinggi. Ia segera menuruni tangga. Sekitar 60 atau 70 pijakan akan membawanya
sampai di rumahnya yang mungil. Sebenarnya hanya sebuah bilik kecil di bawah
tangga yang berputar menuju puncak menara. Ia lepaskan nafasnya satu dua.
Berbelok ke sebuah pintu yang dibiarkan menganga begitu saja. Lampu 25 watt
menyala. Menerangi selembar karpet warna biru laut. Sebuah kasur bertilam biru,
sebuah bantal sedikit kumal, menggelepar di pingir kamar. Ia menyisakan sedikit
tempat di pojok untuk sebuah meja kecil. Di atas meja berserakan buku-buku juga tumpukan koran lama. Sebuah televisi hitam putih
menayangkan drama picisan dengan rating yang mengalahkan program-program berita
yang disukainya.
Layar
hitam putih itu segera dimatikan.. Tak ada yang menarik. Tangannya segera
berpindah memutar-mutar gelombang radio. Beruntung, transistor tua itu masih
setia menemaninya. Pada malam-malam tertentu ia bisa mendengarkan siaran wayang
kulit dari RRI. Atau ketika hatinya
tengah muram dirajam sepi, ia akan memilih lagu-lagu keroncong dengan sepenggal-sepenggal sair
yang ditirukannya.
Sekali
waktu, tempatnya kini pun melangutkannya dalam beragam kenangan. Keningnya berkerut-kerut
seperti mengingat-ingat sesuatu. Matanya segera berlama-lama menekuni sebuah
foto yang terselip di dompetnya. Sebentuk wajah dengan senyum yang selalu
mengingatkan dirinya pada orang-orang terdekat yang menjadi miliknya. Terkadang
ia tersenyum. Berbinar-binar matanya. Ada
satu dua harapan yang sedang ia bangun menggantung-gantung di pelupuk matanya.
“Lebih
tinggi dari pohon kelapa. Di atasnya ada lampu besar yang selalu menyala.”
“Besar
mana dengan bola plastik?”
“Pokoknya
besar. Sebesar bola plastik yang besar.”
“Besar
mana dengan bulan?”
“Ya,
sebesar bulan.”
Esok
harinya, ia akan memergoki anaknya bercerita kepada anak-anak tetangga tentang
rumah ayahnya. Rumahnya punya menara. Menaranya punya lampu. Lampunya terus
menyala. Nyalanya terang seperti bulan.
Pada
hari yang lain, ia akan bercerita tentang kapal-kapal yang hilir mudik di depan
rumahnya. Kapal-kapal itu begitu berjasa mengantarkan para penumpang sampai
tiba di rumahnya. Bertemu dengan kawan-kawanya. Berkumpul dengan keluarga.
Menjenguk anak-anaknya. Di dalam kapal ada seorang nakhoda yang gagah berani.
Yang dengan gigih mengarungi samodra.
“Aku
juga ingin jadi nakhoda,” ujar anaknya suatu hari.
“Bagus.
Makanya jangan nakal kalau ayah tidak di rumah. Kasihan ibu.”
Pada
malam - malam berikutnya ia bercerita
tentang petualangan Marcopolo. Ia juga
berkisah tentang Columbus.
Ia juga mendongeng tentang semua laki-laki yang berusaha menjelajahi benua
dengan menggunakan perahu atau kapal laut.
Si
kecil pun akhirnya terlelap bersama mimpi heroik menjelajah dunia.
*****
Tapi ia harus kembali.
Lampu di puncak menara itu harus tetap menyala.
Diputuskannya untuk tetap tinggal. Sebab selain dirinya, semuanya satu
demi satu sudah pergi. Terkadang, ia juga berharap: barang satu dua kapal yang
melintas di depannya akan berhenti untuk singgah. Dilepaskannya sekoci itu dari tambatan. Ombak
pecah menjadi buih manakala menerjang perahu kecil yang dikemudikannya. Bersama
bias lampu mercusuar, ia terus berputar
mengelilingi rumahnya sendiri. Laut
tenang. Di langit, bintang
kerlap-kerlip menerangi malam.
Ini malam yang ke sekian
kalinya. Cuaca sedang bersahabat. Biasanya pada malam-malam seperti ini ia akan
berkeliling barang beberapa menit. Tetapi sudah lama ia tak melakukan wisata kecil-kecilan. Berperahu mengitari
rumahnya sendiri. Sekadar membunuh kerinduan pada orang-orang yang dicintainya. Jika dingin sudah mulai
terasa, ia mendayung perahu itu keras-keras. Hingga peluh di seluruh tubuh akan
membuatnya merasa hangat. Lelah yang
menggerogoti tulang dan tubuhnya sekembali di biliknya nanti, membuat matanya
cepat mengantuk. Ia akan tertidur pulas. Mimpi bercengkrama dengan
anak-anaknya. Mimpi bercinta dengan istrinya. Mimpi berkendara kapal pesiar bersama
keluarga kecilnya. Sepuluh tahun kerinduan, bahkan lebih: dengan apa
menuntaskan rasa kangen?
Tentu saja. Ini malam yang menyenangkan untuk melaut. Tapi ia
lebih senang teronggok di biliknya sendiri. Berhitung tenaga dan perasaan.
Membandingkan dulu dan kini. Dipilihnya pulau kecil terpencil ini karena sebuah
alasan. Ia sangat mencintainya. Tetapi harus menunggu.
“Kau masih bisa melihat
tempat itu. Sebuah rumah bermenara tinggi. Dengan lampu yang selalu menyala di
puncaknya,” ujarnya suatu senja.
Istrinya hanya bisa menunduk. Air mata yang
bertahun diperam di dasar ketegaranya, senja itu menetes di sebuah dermaga.
“Aku terpaksa melakukannya.
Kita tak pernah menginginkan keluarga seperti ini,” ujar perempuan yang akan
meninggalkannya.
Erat-erat ia mengenggam
tangan istrinya. Sebuah kapal tengah menunggu di pinggir dermaga. Satu persatu,
orang – orang yang akan pergi itu mulai lenyap di telan buritan. Sebentar lagi
perahu raksasa itu lamat – lamat akan pergi. Membawa orang terkasih bersama
para calon TKI lainnya.
“Kau pasti akan melewati
tempat itu. Sebuah pulau kecil. Sebuah rumah bermenara. Aku selalu menyalakan
lampu di puncaknya.”
Ia tak tahu apa yang mesti
dikatakan. Mesin mulai menderu. Kapal akan segera berangkat. Ia lepaskan
genggaman dari tangan istrinya. Senja turun membakar kaki langit di ufuk barat.
Langkahnya satu-satu meninggalkan dermaga yang beranjak lengang. Sepanjang
jalan ia terus berfikir tentang orang-orang
yang pergi. Setelah anak satu-satunya dipungut oleh Eyang
Kakung dan Eyang Putri, ia memutuskan untuk berhenti sebagai penjaga
mercusuar dengan harapan bisa sering berkumpul dengan keluarga. Tapi sayang, ia
selalu harus kembali. Menyalakan lampu pemandu itu. Saat janjinya belum
terpenuhi, ia pun harus melepaskan genggaman dari tangan istrinya.
Keningnya kembali berkerut.
Matanya belum berhenti menekuni sepenggal foto yang dengan hati-hati ia
genggam. Seolah-seolah ia selalu ingin menjaganya. Sebentuk wajah teduh
kekanak-kanakan. Ia ingat percakapannya. Ingat anaknya sewaktu menanyakan
tentang rumah bermenara. Ingat lampu yang selalu harus menyala. Membayangkan
seseorang tiba-tiba datang dan memanggilnya ayah. Mungkin seorang nakhoda
seperti yang selalu diucapkan oleh anaknya.
“Berapa usiamu?” gumamnya
lirih. Dikecupnya wajah itu sebelum kembali ia masukkan potongan foto
kenang-kenangannya dalam dompet. Sungging bibirnya tipis.
“Kita pasti telah menjadi
Kakek Nenek. Kapan terakhir kali kau temui anakmu. Anak kita?” ia bergumam
sendiri. Lalu pasrah pada sebongkah kasur di sudut ruangan.
Di luar, malam terus
membubung. Dingin melata hingga ke bilik, merayapi tubuh dan tulang-tulangnya. Ia sudah tak muda
lagi. Angin malam membuatnya lebih cepat mengantuk.
********
Senja merah. Lelaki tua, di
tangannya menghunus sebatang kretek tengah menyala. Dalam-dalam ia menghisap
rokoknya. Meneguk sisa kopi dalam cangkir hingga tandas. Ia sempat berfikir
untuk turun. Masih ada sedikit air panas, gula dan kopi di biliknya yang kecil
di bawah menara. Tapi tempat ini cukup tinggi untuk usianya. Ia berfikir ulang
untuk turun dan menyeduh yang baru. Lagi pula, dirinya seolah takut ketinggalan
matahari. Ia putuskan menunggu hingga
matahari berenang di ufuk barat. Ruap-ruap awan terbakar memantulkan merah
berkilauan pada warna laut yang semula hanya biru. Di tempat ini, senja segera
saja membakar kaki cakrawala. Di batas pandang matanya yang mulai lamur oleh
usia, ia menyaksikan kapal-kapal itu datang dan pergi. Kecuali senja, tak ada
satu pun dari yang datang dan pergi itu berkenan singgah di tempatnya. []
(dimuat di harian Pikiran Rakyat, 29 Juli 2012)