Minggu, 29 Juli 2012

Sebuah Rumah di Bawah Menara



ilustrasi: e-paper pikiran rakyat/crop


 Sebuah Rumah di Bawah Menara

cerpen: Tjak S Parlan


Di tempat ini, senja segera saja membakar kaki cakrawala. Di batas pandang matanya yang mulai lamur oleh usia, ia menyaksikan kapal-kapal itu datang dan pergi. Kecuali senja, tak ada satu pun dari yang datang dan pergi itu berkenan singgah di tempatnya. Sudah sangat lama: waktu melata di sebuah menara, sebuah rumah kecil, juga seorang penghuni.

******


Senja mulai tinggi. Ia segera menuruni tangga. Sekitar 60 atau 70 pijakan akan membawanya sampai di rumahnya yang mungil. Sebenarnya hanya sebuah bilik kecil di bawah tangga yang berputar menuju puncak menara. Ia lepaskan nafasnya satu dua. Berbelok ke sebuah pintu yang dibiarkan menganga begitu saja. Lampu 25 watt menyala. Menerangi selembar karpet warna biru laut. Sebuah kasur bertilam biru, sebuah bantal sedikit kumal, menggelepar di pingir kamar. Ia menyisakan sedikit tempat di pojok untuk sebuah meja kecil. Di atas meja  berserakan buku-buku juga tumpukan  koran lama. Sebuah televisi hitam putih menayangkan drama picisan dengan rating yang mengalahkan program-program berita yang disukainya.
Layar hitam putih itu segera dimatikan.. Tak ada yang menarik. Tangannya segera berpindah memutar-mutar gelombang radio. Beruntung, transistor tua itu masih setia menemaninya. Pada malam-malam tertentu ia bisa mendengarkan siaran wayang kulit dari RRI. Atau  ketika hatinya tengah muram dirajam sepi, ia akan memilih lagu-lagu  keroncong dengan sepenggal-sepenggal sair yang ditirukannya.
Sekali waktu, tempatnya kini pun melangutkannya dalam beragam kenangan. Keningnya berkerut-kerut seperti mengingat-ingat sesuatu. Matanya segera berlama-lama menekuni sebuah foto yang terselip di dompetnya. Sebentuk wajah dengan senyum yang selalu mengingatkan dirinya pada orang-orang terdekat yang menjadi miliknya. Terkadang ia tersenyum. Berbinar-binar matanya. Ada satu dua harapan yang sedang ia bangun menggantung-gantung di pelupuk matanya.
“Lebih tinggi dari pohon kelapa. Di atasnya ada lampu besar yang selalu menyala.”
“Besar mana dengan bola plastik?”
“Pokoknya besar. Sebesar bola plastik yang besar.”
“Besar mana dengan bulan?”
“Ya, sebesar bulan.”
Esok harinya, ia akan memergoki anaknya bercerita kepada anak-anak tetangga tentang rumah ayahnya. Rumahnya punya menara. Menaranya punya lampu. Lampunya terus menyala. Nyalanya  terang seperti bulan.
Pada hari yang lain, ia akan bercerita tentang kapal-kapal yang hilir mudik di depan rumahnya. Kapal-kapal itu begitu berjasa mengantarkan para penumpang sampai tiba di rumahnya. Bertemu dengan kawan-kawanya. Berkumpul dengan keluarga. Menjenguk anak-anaknya. Di dalam kapal ada seorang nakhoda yang gagah berani. Yang dengan gigih mengarungi samodra.
“Aku juga ingin jadi nakhoda,” ujar anaknya suatu hari.
“Bagus. Makanya jangan nakal kalau ayah tidak di rumah. Kasihan ibu.”
Pada malam -  malam berikutnya ia bercerita tentang  petualangan Marcopolo. Ia juga berkisah tentang Columbus. Ia juga mendongeng tentang semua laki-laki yang berusaha menjelajahi benua dengan menggunakan perahu atau kapal laut.
Si kecil pun akhirnya terlelap bersama mimpi heroik menjelajah  dunia.
*****

Tapi ia harus kembali. Lampu di puncak menara itu harus tetap menyala.  Diputuskannya untuk tetap tinggal. Sebab selain dirinya, semuanya satu demi satu sudah pergi. Terkadang, ia juga berharap: barang satu dua kapal yang melintas di depannya akan berhenti untuk singgah.  Dilepaskannya sekoci itu dari tambatan. Ombak pecah menjadi buih manakala menerjang perahu kecil yang dikemudikannya. Bersama bias lampu mercusuar,  ia terus berputar mengelilingi rumahnya sendiri. Laut  tenang. Di langit, bintang  kerlap-kerlip menerangi malam.

Ini malam yang ke sekian kalinya. Cuaca sedang bersahabat. Biasanya pada malam-malam seperti ini ia akan berkeliling barang beberapa menit. Tetapi sudah lama ia tak melakukan  wisata kecil-kecilan. Berperahu mengitari rumahnya sendiri. Sekadar membunuh kerinduan pada orang-orang  yang dicintainya. Jika dingin sudah mulai terasa, ia mendayung perahu itu keras-keras. Hingga peluh di seluruh tubuh akan membuatnya merasa hangat.  Lelah yang menggerogoti tulang dan tubuhnya sekembali di biliknya nanti, membuat matanya cepat mengantuk. Ia akan tertidur pulas. Mimpi bercengkrama dengan anak-anaknya. Mimpi bercinta dengan istrinya. Mimpi berkendara kapal pesiar bersama keluarga kecilnya. Sepuluh tahun kerinduan, bahkan lebih: dengan apa menuntaskan rasa kangen?

Tentu saja. Ini  malam yang menyenangkan untuk melaut. Tapi ia lebih senang teronggok di biliknya sendiri. Berhitung tenaga dan perasaan. Membandingkan dulu dan kini. Dipilihnya pulau kecil terpencil ini karena sebuah alasan. Ia sangat mencintainya. Tetapi harus menunggu.

“Kau masih bisa melihat tempat itu. Sebuah rumah bermenara tinggi. Dengan lampu yang selalu menyala di puncaknya,” ujarnya suatu senja.

Istrinya hanya bisa menunduk. Air mata yang bertahun diperam di dasar ketegaranya, senja itu menetes di sebuah dermaga.

“Aku terpaksa melakukannya. Kita tak pernah menginginkan keluarga seperti ini,” ujar perempuan yang akan meninggalkannya.

Erat-erat ia mengenggam tangan istrinya. Sebuah kapal tengah menunggu di pinggir dermaga. Satu persatu, orang – orang yang akan pergi itu mulai lenyap di telan buritan. Sebentar lagi perahu raksasa itu lamat – lamat akan pergi. Membawa orang terkasih bersama para calon TKI lainnya.

“Kau pasti akan melewati tempat itu. Sebuah pulau kecil. Sebuah rumah bermenara. Aku selalu menyalakan lampu di puncaknya.”

Ia tak tahu apa yang mesti dikatakan. Mesin mulai menderu. Kapal akan segera berangkat. Ia lepaskan genggaman dari tangan istrinya. Senja turun membakar kaki langit di ufuk barat. Langkahnya satu-satu meninggalkan dermaga yang beranjak lengang. Sepanjang jalan ia terus berfikir tentang orang-orang  yang  pergi.  Setelah anak satu-satunya dipungut oleh Eyang Kakung dan Eyang Putri, ia memutuskan untuk berhenti sebagai penjaga mercusuar dengan harapan bisa sering berkumpul dengan keluarga. Tapi sayang, ia selalu harus kembali. Menyalakan lampu pemandu itu. Saat janjinya belum terpenuhi, ia pun harus melepaskan genggaman dari tangan istrinya.

Keningnya kembali berkerut. Matanya belum berhenti menekuni sepenggal foto yang dengan hati-hati ia genggam. Seolah-seolah ia selalu ingin menjaganya. Sebentuk wajah teduh kekanak-kanakan. Ia ingat percakapannya. Ingat anaknya sewaktu menanyakan tentang rumah bermenara. Ingat lampu yang selalu harus menyala. Membayangkan seseorang tiba-tiba datang dan memanggilnya ayah. Mungkin seorang nakhoda seperti yang selalu diucapkan oleh anaknya.

“Berapa usiamu?” gumamnya lirih. Dikecupnya wajah itu sebelum kembali ia masukkan potongan foto kenang-kenangannya dalam dompet. Sungging bibirnya tipis.

“Kita pasti telah menjadi Kakek Nenek. Kapan terakhir kali kau temui anakmu. Anak kita?” ia bergumam sendiri. Lalu pasrah pada sebongkah kasur di sudut ruangan.

Di luar, malam terus membubung. Dingin melata hingga ke bilik, merayapi  tubuh dan tulang-tulangnya. Ia sudah tak muda lagi. Angin malam membuatnya lebih cepat mengantuk.

********

Senja merah. Lelaki tua, di tangannya menghunus sebatang kretek tengah menyala. Dalam-dalam ia menghisap rokoknya. Meneguk sisa kopi dalam cangkir hingga tandas. Ia sempat berfikir untuk turun. Masih ada sedikit air panas, gula dan kopi di biliknya yang kecil di bawah menara. Tapi tempat ini cukup tinggi untuk usianya. Ia berfikir ulang untuk turun dan menyeduh yang baru. Lagi pula, dirinya seolah takut ketinggalan matahari. Ia putuskan menunggu hingga matahari berenang di ufuk barat. Ruap-ruap awan terbakar memantulkan merah berkilauan pada warna laut yang semula hanya biru. Di tempat ini, senja segera saja membakar kaki cakrawala. Di batas pandang matanya yang mulai lamur oleh usia, ia menyaksikan kapal-kapal itu datang dan pergi. Kecuali senja, tak ada satu pun dari yang datang dan pergi itu berkenan singgah di tempatnya. []


(dimuat di harian Pikiran Rakyat, 29 Juli 2012)


Minggu, 15 Juli 2012

JUKUNG

 
ilustrasi: dok-ist/SHNEWS.CO


 Jukung*
cerpen: Tjak S Parlan


 _____________________

Larunglah aku. Oleh hujan yang mengepung seluruh kota. Hari ini, hujan yang melarungkanku berhenti, pada sebuah senja di tikungan jalan. Sepertinya sebuah pertigaan. Tetapi di kota mana, tak perlu bertanya, kukira.
Sebab aku tak diajari untuk mengeja, membaca tanda-tanda, lalu kumaknakan melalui gejala, firasat, atau sekadar teka-teki yang membuatku bertanya-tanya. Tak. Tak seperti itu aku diciptakan. Melainkan hanya untuk hanyut. Dilarungkan oleh entah. Siapa saja yang dengan tangan-tangannya akan menjelmakanku sebagai perahu tanpa awak. Dan lautan, apakah aku punya lautan?. Mungkin bengawan, danau, telaga, selokan. Atau sekadar sesuatu?

•••••
 
Aku mendengar seorang ibu menuturkan satu kisah pada anaknya. Nuh pergi berlayar. Seperti juga laki-laki lain yang meninggalkan ibu, anakku. Ia juga meninggalkan anaknya.

Aku ingat sesuatu. Yang berpalka itu. Yang ditancapkan tiang pada perutnya. Suatu hari nanti, palka itu akan melebar. Dan tiang itu akan menjulang tinggi. Hampir menyamai tingginya pohon kelapa.
Dari sana kamu bisa berteriak, mengabarkan pada semua yang di darat; aku sudah datang.
 
Bocah itu pun berlari-lari. Membawaku menuju sebuah samodra kecil. Tapi di sini tak ada ombak. Tak juga kulihat buih yang putih, yang pecah-pecah lalu berantakan di gigir pantai. Aku tak sanggup memilih.
Sebab lelaki kecil itu sudah kepalang melarungkanku di tempat ini. Senja memanggang bukit-bukit di sebelah barat. Dari sini masih bisa kulihat lelaki kecil itu menatapku sedih. Apa dia juga merasa kehilangan?Harusnya ia masih di sini. Memandangiku sambil bersorak.
 
Berteriak; hoiii! Seperti laki-laki lainnya memberi sapaan hangat. Mengabarkan pada siapa pun yang dijumpainya; aku telah berhasil mengarungi selat dan membawa rezeki untuk para perempuan dan anak-anak yang menunggu di rumah. Ah, aku kira ia memang hanya laki-laki kecil. Ia hanya ingat, Nuh pergi berlayar. Seperti juga laki-laki lain yang meninggalkan ibu. Ia juga meninggalkan anaknya.

•••••

Waktu benar-benar berlalu sangat cepat. Aku segera saja rapuh. Masih kuingat kenangan kanak-kanak sewaktu tangan-tangan kecilnya terkadang usil melukaiku. Mengambilnya dari sembarang tempat. Merenggutnya dari akar tempat aku kokoh berdiri. Lalu melubangi perutku. Menggores-gores tubuhku.
Menancapkan tiang, mengembangkan layar. Melebarkan palka. Pada senja yang dingin mereka menggiringku ke sebuah selat. Terkadang hanya sebuah bengawan. Kali kecil, selokan atau sungai-sungai bercampur sampah, bermacam kotoran, bau amis, anyir dan berlendir-lendir buangan limbah.
 
Aku terdampar di mana? Terkatung-katung semalaman tanpa nakhoda. Layarku sebentar kembang, sebentar diterbangkan angin yang tak mampu kulawan. Terkadang putus harap; aku larat bersama samudra luas nun jauh di sana.
 
Pernah juga aku kandas. Pantatku penuh luka-luka yang menganga. Sekujur tubuhku kaku. Aku bahkan bergeming. Mereka mulai ramai-ramai menyeretku ke tepian. Tapi sebenarnya aku lebih sering diabaikan. Teronggok begitu saja tanpa kenangan. Tanpa sejarah layaknya barang-barang antik yang dipelototi di museum.
 
Pada saatnya usia uzur akan menjemputku. Sebongkah benda belaka. Mula-mula segerombolan rayap yang menggerogoti tubuh sebongkah kayu ini dari hari ke hari. Pada musim panas, kulitku melepuh. Rontok satu per satu. Musim dingin, tubuhku lebur bersama tanah. Menyatu, bersenyawa.
 
Lalu mereka menguraikanya. Lewat humus—mereka sering menyebutnya begitu—ditumbuhkanlah kuncup dari pokok kecil yang terselamatkan sebelum ajal. Hingga waktu melewati berkali-kali musim. Berkali-kali purnama. Beribu-ribu pasang dan surut. Ombak menjilat-jilat dengan lidahnya. Sekali waktu menyentuh pohonku.
 
Aku pokok yang kecil; kemudian membesar, tumbuh dan terus tumbuh. Aku rindang. Berdahan-dahan. Beranting-ranting. Kadang berbuah. Tubuhku kekar, kokoh menancap di gigir pantai, kadang di tengah belantara. Lalu mereka datang. Merambat pada tubuhku. Memilih bagian dahan yang paling kuat. Menggoyang-goyangkannya sambil berteriak, melambai-lambai. Aku tahu, mereka telah menemukan layar-layar yang terkembang nun jauh di sana. Apakah laki-laki itu sudah pulang? Laki-laki yang meninggalkan perempuan dan anak-anaknya.
 
Sekali waktu—sebenarnya ini pasti akan terjadi—mereka datang kembali. Orang-orang yang melukai tubuhku. Dengan raung gergaji, dengan kampak, dengan parang. Patah dahan-dahanku. Remuk ranting-rantingku. Luruh seluruh daun. Lepas semua kulitku. Aku telanjang seperti babi guling dalam pesta beraroma tuak. Tangan-tangan kekar bersenjata merayakan tubuhku.
 
Mereka mulai lagi. Membikin lubang. Menggali tubuhku dengan kapak. Lantas menyerutku. Nah! sekarang saatnya menancapkan tiang. Mengendalikannya dengan layar. Melebarkan palka. Memoles-moles dengan sedikit ukiran, atau sekadar coretan. Sedikit yang lebih perhatian, akan memberiku sebuah nama.
Sekadar sebuah sebutan untuk menandaiku. Lalu tibalah hari itu ketika angin membawa apa pun menuju laut lepas. Inilah saatnya, seorang laki-laki akan menunggangiku. Wajahnya berkali-kali tengadah ke langit. Ia membaca arah bintang, nasib baik, maut, juga keberuntungan.

•••••
 
Aku ingat seorang laki-laki di bibir selat. Waktu itu, kamu masih kecil anakku. Belum pernah merasakan bagaimana nyamannya pulang berlayar. Belum mampu menahan gemeretak gigil pada gigimu. Bahkan jiwamu masih terlampau rapuh menari-nari dalam jilatan ombak.
 
Sementara, pada langit yang menyembunyikan bintang-bintang terbayang sebuah daratan. Tempat aku dan kamu tengah menunggu. Kau tahu, Nak? Di tempat ini setiap laki-laki harus berlayar.
Tidak. Tidak akan seperti Nuh. Karena laki-laki itu tak pernah kembali. Banjir bandang, telah memaksanya untuk menyelamatkan diri dari sebuah kedurhakaan. Nuh pergi berlayar. Seperti juga laki-laki lain yang meninggalkan ibu, anakku.
 
Ia juga meninggalkan anaknya. Kau pasti tahu. Dari sorot matamu jelas kutangkap; kita tak pernah durhaka pada siapa pun. Jadi berharaplah terus pada selat; bahwa suatu saat laki-laki itu akan berdiri pada tiang menjulang. Lalu dengan gagahnya akan memberikan kabar kepada kita; aku telah kembali.
 
Aku ingat seorang laki-laki di bibir selat. Kamu sudah tumbuh besar anakku. Bagaimana? Apa kau juga merasa letih menghitung berapa kali pasang, berapa kali surut? Berapa lama lagi kau akan menunggu? Tentang laki-laki di bibir selat itu. Tentang sebongkah jukung yang rapuh. Yang telah lama digerus ombak. Disingkirkan dari takdirnya. Dilepaskan dari layarnya. Dipisahkan dari palkanya. Dipatahkan dari tiangnya.
Setelah itu, ibu menutup ceritanya.
 
Aku menjelma. Jadi sebuah pinisi kecil. Laki-laki kecil itu menyebutku jukung. Senja tadi ketika matahari menyetubuhi bukit-bukit di sebelah barat, ia meninggalkanku di tengah hujan yang mengepung seluruh kota. Melarungkanku. Aku kira ini sebuah selat. Atau mungkin bengawan. Danaukah? Atau sungai? Bukan, ternyata bukan itu. Ini hanya sebuah saluran kecil di tengah-tengah kota yang kumuh. Aku karam bersama air limbah.
 
Laki-laki kecil itu terus menatapku. Matanya berharap pada birunya laut. 

 _____________________

dimuat di Sinar Harapan, 14 Juli 2012 




  

Minggu, 24 Juni 2012

Rumah Ayah dan Satu Kisah Lainnya



 

Rumah Ayah dan Satu Kisah Lainnya


 Mungkin karena ayah tidak ingin tetap tinggal, ia memilih rumahnya sendiri.

 Dulu-dulu ibu sering mengatakan hal itu padaku. Biasanya  menjelang  tidur  setelah aku bosan mendengarkan nyanyian ibu tentang legenda-legenda tua. Ya, Jaka Tarub versus Nawang Wulan-lah. Melulu itu. Sampai-sampai aku curiga : Ada apa, ibu begitu mengidolakan  laki-laki sederhana dari Desa Tarub itu? Jangan-jangan ibu ini penjelmaan terakhir dari putri cantik yang pandai terbang itu. Yang katanya - menurut ibu - ia akan datang setiap purnama sedang sempurna-sempurnanya. Ah, Ibu.

Kenapa Ibu tak menceritakan tentang Ayah saja? Jika aku bertanya seperti itu ibu selalu menjawab : Mungkin karena ayah tidak ingin tetap tinggal, akhirnya ia memilih rumahnya sendiri.  Dan Ibu tidak akan terlalu banyak menceritakannya padamu, anakku. Kalau kau sudah besar nanti, kau akan tahu sendiri. Ini tidak ada hubungannya dengan Jaka Tarub dan Nawang Wulan. Ini hanya untuk memberikan kabar padamu : Hidup yang serius itu, tidak dimulai dari pemenangan atas sayembara yang tergesa-gesa.

Aku masih terlalu kecil waktu itu. Mana tahu yang seperti itu?

Akhirnya aku tahu tentang sayembara itu : sesungguhnya yang diceritakan oleh ibu beribu-ribu malam sebelumnya adalah laki-laki yang kesasar di pinggir telaga. Sepasang matanya tak sengaja menelanjangi sang putri hingga setengah dada. Sepasang telinganya menjajal peluang untuk memenangkan sayembara. Maka jadilah, Wulan dan Tarub menikah. Babak berikutnya dibuat semuskil mungkin. Setelah tubuh bertemu tubuh. Setelah hati bertemu hati. Setelah janji bertemu janji. Setelah perpaduan itu membuahkan hasil : buah dari kasih dua belah hati. Setelah titi mangsa diciptakan oleh pakar legenda. Nawang Wulan terbang, dan laki-laki itu menimang buah hatinya di tiap-tiap purnama.
Mungkin karena ia tidak ingin tetap tinggal, akhirnya putri itu memilih rumahnya sendiri. Itu juga yang dikatakan ibu kepadaku, sambil merapatkan selimutku, menutup ceritanya di malam itu.


*****

Dan di pagi buta berikutnya, ujung mukena ibu basah. Aku terbangun oleh tetesannya yang mampir di wajahku. “Sekarang giliran kita, anakku,” kata ibu. “Bersiaplah, kita akan menjenguk rumah ayah.” 

Ibu memakai kebaya tua berenda-renda. Aku celana pendek coklat dengan baju pramuka. Kata Ibu, dengan pakaian seperti itu, aku selalu gagah di mata ayah. Kata ibu, dengan pakaian seperti itu, ibu selalu ayu menurut ayah. Tidak lupa kami memetik kembang kantil di sebelah rumah. Kembang kesukaan ayah, selain kamboja dan Raflesia Arnoldi yang menurut ayah adalah bunga bangkai; indah dipandang tapi busuknya minta ampun. Tentu, kami hanya membawakan kantil saja. Sebab, tidak mungkin aku dan ibu membawa-bawa busuk bangkai ke rumah ayah. Lagi pula, di rumah ayah kamboja bermekaran di sekeliling rumah.

Kami  selalu tiba sewaktu pagi belum mekar sempurna kelopaknya. Sedikit saja mekarnya, tapi sudah cukup bagiku untuk melihat wajah ibu. Sudut matanya koyak, mengalirkan kanal kecil di tirus pipinya. Waktu aku terus bertanya ibu kenapa, jawaban ibu selalu sederhana, “Ada binatang aneh masuk ke mata ibu.” Lalu aku menawarkan diri, hanya jasa sederhana, “Biar aku yang meniupnya, Bu.” Tapi selalu saja, ibu enggan aku mengawatirkannya, “Sudahlah, hanya gangguan kecil. Masih ada yang harus kita selesaikan : membersihkan rumah ayah.”  



Benar. Sebelum hari  keburu  tua, rumah ayah harus senantiasa dibersihkan. Aku membereskan dahan-dahan tua. Sudah berapa usiamu sekarang? Pohon-pohon kamboja tua yang setia menunggui rumah ayah. Di dekatnya ada dua menara sangat rendah. Aku belum mengenal huruf-huruf , angka-angka waktu itu. Belum mengenal perasaan-perasaan tua. Belum bisa mengukir sekaligus mengeja angka kelahiran. Belum benar-benar bisa membaca nama ayah yang dikukuhkan pada hari kepergian: di sana, di salah satu menara sangat rendah, di rumah tua ayah. Tapi menurut ibu, itu tidak penting lagi akhirnya. Katanya, ayah begitu tenang di rumahnya.

****

Ini pagi yang lain. Tentu tidak sama dengan pagi buta bersama ibu. Aku tidak lagi terbangun oleh basah yang sama: basah ujung mukena ibu oleh air wudlu atau entah air mata. Kerap kali aku hanya terbangun oleh embun yang menetas dari daun-daun. Di sekelilingku, kawan-kawan bermain di luar rumah. Aku berada di sini sekarang, di luar rumah sedang mencari jalan untuk masuk. Aku pernah berfikir untuk masuk ke rumah ibu. Tapi dari jauh,  lamat-lamat  kutangkap bayangan ibu  sedang menurunkan tirai-tirai. Sedang menutup pintu dan jendela. Apa ibu juga akan keluar rumah? Lalu jika ibu kembali nanti, apa ibu masih bisa mencari jalan masuk? Aku tidak pernah berfikir bahwa ibu akan menghilangkan kuncinya, tapi aku cemas. Lebih dari kecemasanku melihat binatang aneh masuk ke mata ibu waktu menjenguk rumah ayah dulu. Lebih dari ketakutanku  jika kami benar-benar tak bisa lagi merawat rumah ayah. |


____________________________

Rumah Ayah dan Satu Kisah Lainnya adalah cerpen karya Tjak S Parlan yang tergabung dalam Bunga Rampai Puisi  Tuah Tara No Ate, TSI 4 Ternate.

 


 


Rabu, 27 Juli 2011

Lumba-Lumba dan Saya


Kepalanya ditumbuhi samun liar yang mengganggu pandangan mata. Setiap kali  jemari kurusnya yang lebih kuning dibanding bagian tubuh lainnya  itu menggapai kepalanya, remah-remah salju luruh. Saya tahu, ia bukan sekadar menggapai, tapi menggaruk. Saya juga tahu,  jauh di ruang sana, di balik  kepalanya yang teguh ditumbuhi samun liar itu, ada ribuan ngengat, ulat bulu,  bahkan ular cobra yang terus mengganggu dan ia ingin membantainya dengan cara yang kejam lebih dari menggaruk.

***

ilustrasi: tjak, montase foto net & dok. pribadi

Tidak besok atau lusa. Sebab hari ini cuaca gerah dan kurang pantas membicarakan warna langit. Sementara, ia bersikeras dengan keinginannya. Caranya yang super halus, tak kentara tapi persuasif dan memiliki peluang untuk memikat siapa saja itu, menghancurkan keinginan saya untuk menyinggung cuaca.
Sewaktu saya  menghindari tatap matanya, saya masih bertahan memuja ungu elektrik yang membungkus kepalanya. Sempat malah, saya menghitung jumlah tai lalat di belakang telinganya lewat rambutnya yang tersibak oleh  dua ujung yang bertemu itu. Hari itu ia menghias rambutnya dengan slayer warna ungu. Di detik ini saya mulai meraba keinginannya.
Saya meraba keinginannya dan benar. Benar, bahwa hari ini, minggu terasa cerah sekaligus gerah. Ia melolos soft drink inovasi terbaru dengan huruf-huruf warna pink dari daypack. Membuka tutupnya sekali tekan, menghirupnya dengan pipet warna putih, menyodorkan padaku setelah sehirup dua yang mendalam dan aku menghirup sedalam ia. Tak ada aroma lipstik. Lipstik  baginya adalah sekali waktu. Mungkin di sebuah pesta malam dengan gaun malam merah marun. Pesta yang selalu menjauhkan saya dari pesta itu sendiri dan ia.
Dan ia, hari ini akan menjauhkan saya dari minggu yang tenang dengan kartun sembarangan yang saya sewa setiap sabtu sore. Lihat saja, ia mulai bersiap-siap menuju kubangan air, siap menari lumba-lumba.

***

Kau tahu,  itu hanya setengah jam yang lalu. Saat ini saya dan ia tiba di setengah jam berikutnya. Waktu yang mengantarkan saya kerap kehilangan tiga buah tahi lalat di belakang telinganya. Setengah jam yang merubah slayer ungu elektrik itu menjadi bandana di kepala saya. Setengah jam berikutnya yang membuat ia gelisah dalam antrean di depan pintu kamar mandi. Waktu yang membuat saya menatap senyum malu-malunya memamerkan kostum sempit untuk berendam, berderak-derak seperti lumba-lumba yang disorak. ”Tak apalah, di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Jadi, berenanglah biar sehat,” begitulah kalimat yang pernah kudengar, meluncur tanpa beban dari celah bibir bagusnya. Lalu, byur! Kecipak air itu muncrat. Sebagian kecilnya mampir di wajah. Ada setitik dua dingin di wajah saya. Tiba-tiba ia terasa jauh. Saya mulai merindukan rumah dan latihan yoga di halaman belakang selepas menonton kartun lucu.
Tapi tidak kali ini. Tidak besok atau lusa. Besok adalah senin yang gaduh dengan pagi-pagi bersama ibu-ibu, tante, mbak, om, sahut menyahut memamerkan cerita weekend seperti para peneriak di lapangan sirkus jaman baheula. Lusa, lusa adalah kelanjutan dari senin yang mekanis hingga jumat yang terpenggal oleh aroma mistis. Kali ini, kali ini saya harus merelakan buku panduan yoga dan bentuk-bentuk serba elastis bergerak penuh imajiner di layar 14 inci.
Aha, bukankah di tempat ini, kali ini, saya juga menemukan gerakan-gerakan imajiner itu? Tanpa buku panduan malah. Tanpa uang sewa malah.

***

Saya membuka mata. Ia sempat mencandai saya dengan percikan air kolam. (Tentang yang satu ini-air kolam, khusus di tempat ini- ia sering mempromosikan: tanpa kaporit. Tapi, masih di tempat yang sama, saya terbangun oleh aroma itu. Aroma kaporit yang menjauhkan saya dari ingatan tentang yoga: gerakan-gerakan yang belum genap saya hafal). Saya melihatnya tersenyum. Tuhan, kuatkan saya. Kuatkan saya dari godaan lumba-lumba yang sebenarya tidak pernah punya niatan untuk menggoda ini.)   
Benar. Pertama-tama aku melihat ia. Ia timbul tenggelam. Lalu gaya dada, gaya punggung, gaya kuda nil, gaya putri duyung, gaya katak, gaya bebek, gaya timbul tenggelam, semakin tak karuan gayanya, menari-nari, meloncat-loncat, menyembur, menghirup, melepaskan. Ia tidak sendirian akhirnya. Ada satu, dua, tiga, empat, lima, sepuluh dan seterusnya menjadi ”banyak ia”.  Sementara di sepanjang bibir garis empat persegi panjang itu, puluhan mata berbinar-binar. Tempik sorak bergemuruh bercampur teriakan-teriakan dengan aksen kontemporer. Ayo, Kamu Bisa! Pinggulnya, Dong, Pinggulnya. Goyang Dada! Menari, Menari! Loncat! Terbang! Goyang Trio Macan! Pantatnya Mann...nna!
Riuh itu terus berlanjut. Sambung menyambung menjadi meriah. Dalam sekian jenak tangan saya bergerak. Turut memeriahkan riuh  seperti menonton tarian lumba-lumba.

***

Saya merasai telapak tangannya, basah-basah mengusap punggung tangan saya. ”Saya sudah selesai, ”katanya. Saya mengusap mata saya, terus menatapnya dengan linglung. Waktu saya melemparkan  pandangan ke sekeliling, tinggal satu dua yang ada di sana. Satu dua anak kecil sedang dilatih renang ala kadarnya oleh mama dan papanya. Sisanya beberapa turis setengah telanjang menggelar diri di bangku-bangku kayu. Sisanya lagi adalah kami: aku dan ia. Ia menggoyang-goyangkan tubuh saya, meyakinkan dirinya akan kesadaran saya.
”Saya sempat bermimpi tadi.”
”Dasar pemimpi!”
”Dasar perenang. Lumba-lumba. Penyuka air. Putri Duyung...”
”Biarin! Ngomong-ngomong, mimpi apaan tadi?”
“Lumba-lumba.”
“O, ya. Seperti apa?”
“Mirip-mirip kamu. Seperti miniatur-miniatur surfing di kamarku, kamu pernah lihat.”
Dolpin. Masih kamu simpan?”
”Saya menghargai kenangan.”
”Huweeek!”
Waktu ia mencandai saya dengan tiruan orang muntah itu, tangannya cekatan melolos sisir  kecil dari daypack-nya. Lalu ia mulai menggaruk. Aku mencium harum sampo dengan baluran tipis kaporit dari rambutnya. Tiba-tiba saya ingin menekuninya, setiap detail geraknya. Saya melihat  kepalanya ditumbuhi samun liar yang mengganggu pandangan mata. Setiap kali  jemari kurusnya yang lebih kuning dibanding bagian tubuh lainnya  itu menggapai kepalanya, remah-remah salju luruh. Saya tahu, ia bukan sekadar menggapai, tapi menggaruk. Saya juga tahu,  jauh di ruang sana, dibalik  kepalanya yang teguh ditumbuhi samun liar itu, ada ribuan ngengat, ulat bulu,  bahkan ular cobra yang terus mengganggu dan ia ingin membantainya dengan cara yang kejam lebih dari menggaruk.
Saya benar-benar tahu, dulu-dulu ia tak pernah seperti ini. Ia hanya berbuka kepala sekali waktu saja. Bentuk wadagnya begitu terjaga oleh kesopanan.Belakangan ketika ia berniat membuka  bungkus kepalanya, alasanya jadi macam-macam. Gerah. Ketombe. Lembab. Rambut pecah-pecah. Sudah muhriman. Bla, bla, bla. Sejak itu saya menjadi sok tahu: ia sebenarnya sedang tidak bahagia. Kau tahu sendiri, belakangan ia selalu  mengisi waktu liburnya dengan berenang. Untuk yang satu ini saya hanya bisa menebak: 1) ia pernah jatuh cinta pada lumba-lumba dan ingin menirukan gayanya, 2) di kepalanya berkecamuk ribuan getir kenangan, dan berendam sementara ini dirasa cukup efektif  untuk membunuhnya, 3) mantan pacarnya yang mantan atlet renang  itu kecanduan narkoba gara-gara ditelantarkan oleh KONI pusat, ia kecewa dan memilih berpisah.
”Kamu tahu, nggak?” suaranya membunuh lamunanku.
”Iya. Kenapa?”
”Ini terakhir kalinya aku begini.”
”Tidak olahraga? Saya tidak percaya.”
”Olahraga selalu baik. Ya, terserahlah. Tapi yang jelas, besok aku mulai mengajar di sebuah yayasan. Aku harus memakai ini. Aku rindu dengan pakaianku yang dulu, ” ujarnya dengan mimik serius.
”Bukan melulu karena itu, kan?”
”Sudah kupikirkan. Aku akan mulai lagi. Pelan-pelan. Tapi aku akan serius  kali ini.”
Seketika  saya diam. Selebihnya, saya hanya menggaruk-garuk kepala. []

 Mataram, 11 Desember  2006
(Cerpen Tjak S Parlan)

Kamis, 21 Juli 2011

Menghadap ke Tembok


 Aku menemukanmu sekarang. Aku berada  di situ, tapi jauh kau tinggalkan  di balik punggungmu. Kau sedang menghadap ke tembok dan aku menghadapi punggungmu. 

ilustrasi: tjak, photo remake (sumber:eserra.wordpress)

 Saat-saat seperti itu, udara yang susah mencair menjadi kosong yang menggumpal. Di jarak pandang itu, tabir justru menebalkan kebekuan. Semua benda tak bergerak, kecuali cicak yang tertatih robotik menjauh. Aku menemukan sepasang dua. Dari jenis yang berlainan mereka bercengkrama. Tapi tak ada sentuhan. Tak terdengar suara, kecuali bunyi nging kecil menyengat; nyamuk yang menggoda cuping telingku. Kubayangkan darah dalam sekali tepuk, dengan lima jarimu yang panjang kurus-kurus. Bergerak-gerak memetalkan energi lembutmu ke tembok. Hasilnya adalah lukisan dengan pola bercak tak teratur. Warnanya merah dengan garis ungu searah terseret ke bawah. Menjadi mural kecil, goresan  yang berakhir di tanganmu.
Redupnya lampu, menciptakan lanskap coklat kehitaman. Punggungmu yang melebar, tempat paling nyaman menidurkan kelelahan. Punggung itu pernah menjadi sebuah tembok. Dan aku di baliknya. Merasa nyaman, berlindung dari sengatan tatapan mata. Jika tatapan mata itu salah satunya kuperoleh darimu, aku kerap berharap agar segera lindap. Memelankan langkah, menjadi bayang-bayang yang segera hilang ketika kau mulai menoleh. Aku bayang-bayang dan terbiasa di balik punggungmu, bukan?
Sudah pukul berapa, ketika  pendar bintang jatuh merobek mata malamku? Kau tahu, kalian semua paham, bahwa aku sudah mulai bermalas-malasan sekarang. Kurang antusias. Sementara, menurut buku-buku romansa keberuntungan telah ditembakkan dari langit. Kau pernah paham tentang meteor keburuntungan? Kau hanya punya peluang sekian detik menggumamkan doa-doa bagus. Selepas itu, matamu yang sembab  akan melepaskan bintik-bintik bening. Setitik dua yang sedemikian cepat mencair. Ini masih dalam satu dekade. Ketika semua ini terjadi, tanpa sadar kau sebenarnya telah melihatnya dalam sebuah tayangan ulang: sebuah film dengan durasi sepanjang hidupmu, dengan lagu-lagu yang cepat kau ingat dan cepat kau muntahkan ketika kau tergiring masuk ke dalam dekade yang lain. Lagu lama, Saudara, sebuah media potensial untuk memproduksi air mata melankoli.
Tapi benar, aku bahkan telah menemukanmu sekarang. Terbentang lebar pada sebuah layar. Di depanmu masa depan menawarkan warna-warna dengan nuansa putih. Gradasi kuning, merah muda, coklat muda, ungu elektrik yang semuanya berakhir ke satu muara warna; putih metalik. Sementara, aku sendiri menjadi lanskap coklat kehitaman, sama-sama tak bergerak, jauh di balik punggungmu.
Ya, memang tak ada yang bergerak disini. Kecuali aku yang berjalan menghampirimu dan membisikkan sesuatu 'lihat aku dan bergeraklah'. Tetapi kurasa aku mulai tak menginginkan itu sebenarnya. Bagaimana mungkin aku menyuruhmu bergerak, sementara -jika itu terjadi- aku toh, tak sanggup menahan laju gerakmu. Jadi kubiarkan saja kutahan mataku dengan hirup udara malam sedalam-dalamnya. Suara nging makin mengecil, jejak cicak mengesankan percumbuan yang batal, mural kecil di tembok itu terhapus batas pandangku. Di detik terakhir, mata malamku tertutup selaput kehitaman yang merebah landscape.
Ah, punggungmu masih memusuhiku, kukira. Aku menangkapnya lewat bola mata yang mulai keruh, mataku sendiri. Lamat-lamat ada yang bergerak, gerakku sendiri. Lantas kudapati engkau terbujur kaku, pulas seperti akhir perjalanan yang melelahkan. Seperti sesuatu yang berujung: potongan kematian yang lonjong.
 Mataram, 2006

(cerpen Tjak S Parlan, pernah dimuat di Harian Lombok, Mataram)