Rumah Ayah dan Satu Kisah Lainnya
Mungkin karena ayah tidak ingin tetap
tinggal, ia memilih rumahnya sendiri.
Dulu-dulu ibu sering mengatakan hal itu padaku.
Biasanya menjelang tidur
setelah aku bosan mendengarkan nyanyian ibu tentang legenda-legenda tua.
Ya, Jaka Tarub versus Nawang Wulan-lah. Melulu itu. Sampai-sampai aku curiga :
Ada apa, ibu begitu mengidolakan
laki-laki sederhana dari Desa Tarub itu? Jangan-jangan ibu ini
penjelmaan terakhir dari putri cantik yang pandai terbang itu. Yang katanya -
menurut ibu - ia akan datang setiap purnama sedang sempurna-sempurnanya. Ah,
Ibu.
Kenapa Ibu tak menceritakan tentang Ayah saja? Jika aku
bertanya seperti itu ibu selalu menjawab : Mungkin karena ayah tidak ingin
tetap tinggal, akhirnya ia memilih rumahnya sendiri. Dan Ibu tidak akan terlalu banyak
menceritakannya padamu, anakku. Kalau kau sudah besar nanti, kau akan tahu
sendiri. Ini tidak ada hubungannya dengan Jaka Tarub dan Nawang Wulan. Ini
hanya untuk memberikan kabar padamu : Hidup yang serius itu, tidak dimulai dari
pemenangan atas sayembara yang tergesa-gesa.
Aku masih terlalu kecil waktu itu. Mana tahu yang seperti
itu?
Akhirnya aku tahu tentang sayembara itu : sesungguhnya
yang diceritakan oleh ibu beribu-ribu malam sebelumnya adalah laki-laki yang
kesasar di pinggir telaga. Sepasang matanya tak sengaja menelanjangi sang putri
hingga setengah dada. Sepasang telinganya menjajal peluang untuk memenangkan
sayembara. Maka jadilah, Wulan dan Tarub menikah. Babak berikutnya dibuat
semuskil mungkin. Setelah tubuh bertemu tubuh. Setelah hati bertemu hati.
Setelah janji bertemu janji. Setelah perpaduan itu membuahkan hasil : buah dari
kasih dua belah hati. Setelah titi mangsa diciptakan oleh pakar legenda. Nawang
Wulan terbang, dan laki-laki itu menimang buah hatinya di tiap-tiap purnama.
Mungkin karena ia tidak ingin tetap
tinggal, akhirnya putri itu memilih rumahnya sendiri. Itu juga yang dikatakan ibu kepadaku, sambil merapatkan
selimutku, menutup ceritanya di malam itu.
*****
Dan di pagi buta berikutnya,
ujung mukena ibu basah. Aku terbangun oleh tetesannya yang mampir di wajahku.
“Sekarang giliran kita, anakku,” kata ibu. “Bersiaplah, kita akan menjenguk
rumah ayah.”
Ibu memakai kebaya tua
berenda-renda. Aku celana pendek coklat dengan baju pramuka. Kata Ibu, dengan
pakaian seperti itu, aku selalu gagah di mata ayah. Kata ibu, dengan pakaian
seperti itu, ibu selalu ayu menurut ayah. Tidak lupa kami memetik kembang
kantil di sebelah rumah. Kembang kesukaan ayah, selain kamboja dan Raflesia Arnoldi yang menurut ayah
adalah bunga bangkai; indah dipandang tapi busuknya minta ampun. Tentu, kami hanya
membawakan kantil saja. Sebab, tidak mungkin aku dan ibu membawa-bawa busuk
bangkai ke rumah ayah. Lagi pula, di rumah ayah kamboja bermekaran di
sekeliling rumah.
Kami selalu tiba sewaktu pagi belum mekar sempurna
kelopaknya. Sedikit saja mekarnya, tapi sudah cukup bagiku untuk melihat wajah
ibu. Sudut matanya koyak, mengalirkan kanal kecil di tirus pipinya. Waktu aku terus
bertanya ibu kenapa, jawaban ibu selalu sederhana, “Ada binatang aneh masuk ke
mata ibu.” Lalu aku menawarkan diri, hanya jasa sederhana, “Biar aku yang
meniupnya, Bu.” Tapi selalu saja, ibu enggan aku mengawatirkannya, “Sudahlah,
hanya gangguan kecil. Masih ada yang harus kita selesaikan : membersihkan rumah
ayah.”
Benar. Sebelum hari keburu
tua, rumah ayah harus senantiasa dibersihkan. Aku membereskan
dahan-dahan tua. Sudah berapa usiamu sekarang? Pohon-pohon kamboja tua yang
setia menunggui rumah ayah. Di dekatnya ada dua menara sangat rendah. Aku belum
mengenal huruf-huruf , angka-angka waktu itu. Belum mengenal perasaan-perasaan
tua. Belum bisa mengukir sekaligus mengeja angka kelahiran. Belum benar-benar
bisa membaca nama ayah yang dikukuhkan pada hari kepergian: di sana, di salah
satu menara sangat rendah, di rumah tua ayah. Tapi menurut ibu, itu tidak
penting lagi akhirnya. Katanya, ayah begitu tenang di rumahnya.
****
Ini pagi yang lain. Tentu
tidak sama dengan pagi buta bersama ibu. Aku tidak lagi terbangun oleh basah
yang sama: basah ujung mukena ibu oleh air wudlu atau entah air mata. Kerap
kali aku hanya terbangun oleh embun yang menetas dari daun-daun. Di
sekelilingku, kawan-kawan bermain di luar rumah. Aku berada di sini sekarang,
di luar rumah sedang mencari jalan untuk masuk. Aku pernah berfikir untuk masuk
ke rumah ibu. Tapi dari jauh, lamat-lamat kutangkap bayangan ibu sedang menurunkan tirai-tirai. Sedang menutup
pintu dan jendela. Apa ibu juga akan keluar rumah? Lalu jika ibu kembali nanti,
apa ibu masih bisa mencari jalan masuk? Aku tidak pernah berfikir bahwa ibu
akan menghilangkan kuncinya, tapi aku cemas. Lebih dari kecemasanku melihat
binatang aneh masuk ke mata ibu waktu menjenguk rumah ayah dulu. Lebih dari
ketakutanku jika kami benar-benar tak
bisa lagi merawat rumah ayah. |
____________________________
Rumah Ayah dan Satu Kisah Lainnya adalah cerpen karya Tjak S Parlan yang tergabung dalam Bunga Rampai Puisi Tuah Tara No Ate, TSI 4 Ternate.
sangat manis ............:)
BalasHapusmakasih mbak selsa atas kunjungannya...
HapusAh, selalu merembes ke hati Om. Suka! :)
BalasHapusIzzah, terima kasih, yo... sudah berkenan singgah ke bilikku yang sederhana ini ...
HapusTjak Lan. . . . :D
BalasHapusbagus banget. . .
- Hidup yang serius itu, tidak dimulai dari pemenangan atas sayembara yang tergesa-gesa. -
aku benar2 memikirkan kata2 itu Tjak. . .
memenangkan hati, tapi keadaan setelah menang tak selalu lebih baik. . . kadang2, tiba2 saja kemenangan itu terasa sia-sia. . . :)
: ichan...
Hapusaku kira memang begitu, chan... sebab sayembara itu dibuat karena memang kondisinya sedang 'di ujung tanduk', jadi 'ia'-- katakanlah seperti itu-- membuat sayembara karena terpaksa (pertanyaannya: bisakah ia menerima 'pemenang' dengan cara yang suka rela? jangan-jangan terpaksa juga ... he he
Assalamu'alaikum Mas, ketika menjengukmu ke sini sekarang.. aku teringat berpuluh-puluh malam lalu ketika kau bercerita sedikit sejarah ayahmu.. ah, bunga kamboja yang mekar itu wanginya akan selalu sampai ke mukena ibumu, ke sudut kelopak matanya dan hatinya yang selalu ayu...
BalasHapusindah seperti selalu Mas ceritamu,
Wassalamu'alaikum,
: mbak Lail ... makasih selalu kunjungannya, ya ...
Hapus(seingatku, aku membuat cerita ini karena sedang teringat alm ayahku. Yang kupikirkan adalah, bagaimana tentang ibuku)
saya ke rumah ibu :(
BalasHapus