Minggu, 24 Juni 2012

Rumah Ayah dan Satu Kisah Lainnya



 

Rumah Ayah dan Satu Kisah Lainnya


 Mungkin karena ayah tidak ingin tetap tinggal, ia memilih rumahnya sendiri.

 Dulu-dulu ibu sering mengatakan hal itu padaku. Biasanya  menjelang  tidur  setelah aku bosan mendengarkan nyanyian ibu tentang legenda-legenda tua. Ya, Jaka Tarub versus Nawang Wulan-lah. Melulu itu. Sampai-sampai aku curiga : Ada apa, ibu begitu mengidolakan  laki-laki sederhana dari Desa Tarub itu? Jangan-jangan ibu ini penjelmaan terakhir dari putri cantik yang pandai terbang itu. Yang katanya - menurut ibu - ia akan datang setiap purnama sedang sempurna-sempurnanya. Ah, Ibu.

Kenapa Ibu tak menceritakan tentang Ayah saja? Jika aku bertanya seperti itu ibu selalu menjawab : Mungkin karena ayah tidak ingin tetap tinggal, akhirnya ia memilih rumahnya sendiri.  Dan Ibu tidak akan terlalu banyak menceritakannya padamu, anakku. Kalau kau sudah besar nanti, kau akan tahu sendiri. Ini tidak ada hubungannya dengan Jaka Tarub dan Nawang Wulan. Ini hanya untuk memberikan kabar padamu : Hidup yang serius itu, tidak dimulai dari pemenangan atas sayembara yang tergesa-gesa.

Aku masih terlalu kecil waktu itu. Mana tahu yang seperti itu?

Akhirnya aku tahu tentang sayembara itu : sesungguhnya yang diceritakan oleh ibu beribu-ribu malam sebelumnya adalah laki-laki yang kesasar di pinggir telaga. Sepasang matanya tak sengaja menelanjangi sang putri hingga setengah dada. Sepasang telinganya menjajal peluang untuk memenangkan sayembara. Maka jadilah, Wulan dan Tarub menikah. Babak berikutnya dibuat semuskil mungkin. Setelah tubuh bertemu tubuh. Setelah hati bertemu hati. Setelah janji bertemu janji. Setelah perpaduan itu membuahkan hasil : buah dari kasih dua belah hati. Setelah titi mangsa diciptakan oleh pakar legenda. Nawang Wulan terbang, dan laki-laki itu menimang buah hatinya di tiap-tiap purnama.
Mungkin karena ia tidak ingin tetap tinggal, akhirnya putri itu memilih rumahnya sendiri. Itu juga yang dikatakan ibu kepadaku, sambil merapatkan selimutku, menutup ceritanya di malam itu.


*****

Dan di pagi buta berikutnya, ujung mukena ibu basah. Aku terbangun oleh tetesannya yang mampir di wajahku. “Sekarang giliran kita, anakku,” kata ibu. “Bersiaplah, kita akan menjenguk rumah ayah.” 

Ibu memakai kebaya tua berenda-renda. Aku celana pendek coklat dengan baju pramuka. Kata Ibu, dengan pakaian seperti itu, aku selalu gagah di mata ayah. Kata ibu, dengan pakaian seperti itu, ibu selalu ayu menurut ayah. Tidak lupa kami memetik kembang kantil di sebelah rumah. Kembang kesukaan ayah, selain kamboja dan Raflesia Arnoldi yang menurut ayah adalah bunga bangkai; indah dipandang tapi busuknya minta ampun. Tentu, kami hanya membawakan kantil saja. Sebab, tidak mungkin aku dan ibu membawa-bawa busuk bangkai ke rumah ayah. Lagi pula, di rumah ayah kamboja bermekaran di sekeliling rumah.

Kami  selalu tiba sewaktu pagi belum mekar sempurna kelopaknya. Sedikit saja mekarnya, tapi sudah cukup bagiku untuk melihat wajah ibu. Sudut matanya koyak, mengalirkan kanal kecil di tirus pipinya. Waktu aku terus bertanya ibu kenapa, jawaban ibu selalu sederhana, “Ada binatang aneh masuk ke mata ibu.” Lalu aku menawarkan diri, hanya jasa sederhana, “Biar aku yang meniupnya, Bu.” Tapi selalu saja, ibu enggan aku mengawatirkannya, “Sudahlah, hanya gangguan kecil. Masih ada yang harus kita selesaikan : membersihkan rumah ayah.”  



Benar. Sebelum hari  keburu  tua, rumah ayah harus senantiasa dibersihkan. Aku membereskan dahan-dahan tua. Sudah berapa usiamu sekarang? Pohon-pohon kamboja tua yang setia menunggui rumah ayah. Di dekatnya ada dua menara sangat rendah. Aku belum mengenal huruf-huruf , angka-angka waktu itu. Belum mengenal perasaan-perasaan tua. Belum bisa mengukir sekaligus mengeja angka kelahiran. Belum benar-benar bisa membaca nama ayah yang dikukuhkan pada hari kepergian: di sana, di salah satu menara sangat rendah, di rumah tua ayah. Tapi menurut ibu, itu tidak penting lagi akhirnya. Katanya, ayah begitu tenang di rumahnya.

****

Ini pagi yang lain. Tentu tidak sama dengan pagi buta bersama ibu. Aku tidak lagi terbangun oleh basah yang sama: basah ujung mukena ibu oleh air wudlu atau entah air mata. Kerap kali aku hanya terbangun oleh embun yang menetas dari daun-daun. Di sekelilingku, kawan-kawan bermain di luar rumah. Aku berada di sini sekarang, di luar rumah sedang mencari jalan untuk masuk. Aku pernah berfikir untuk masuk ke rumah ibu. Tapi dari jauh,  lamat-lamat  kutangkap bayangan ibu  sedang menurunkan tirai-tirai. Sedang menutup pintu dan jendela. Apa ibu juga akan keluar rumah? Lalu jika ibu kembali nanti, apa ibu masih bisa mencari jalan masuk? Aku tidak pernah berfikir bahwa ibu akan menghilangkan kuncinya, tapi aku cemas. Lebih dari kecemasanku melihat binatang aneh masuk ke mata ibu waktu menjenguk rumah ayah dulu. Lebih dari ketakutanku  jika kami benar-benar tak bisa lagi merawat rumah ayah. |


____________________________

Rumah Ayah dan Satu Kisah Lainnya adalah cerpen karya Tjak S Parlan yang tergabung dalam Bunga Rampai Puisi  Tuah Tara No Ate, TSI 4 Ternate.

 


 


9 komentar:

  1. sangat manis ............:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih mbak selsa atas kunjungannya...

      Hapus
  2. Ah, selalu merembes ke hati Om. Suka! :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Izzah, terima kasih, yo... sudah berkenan singgah ke bilikku yang sederhana ini ...

      Hapus
  3. Tjak Lan. . . . :D

    bagus banget. . .

    - Hidup yang serius itu, tidak dimulai dari pemenangan atas sayembara yang tergesa-gesa. -

    aku benar2 memikirkan kata2 itu Tjak. . .

    memenangkan hati, tapi keadaan setelah menang tak selalu lebih baik. . . kadang2, tiba2 saja kemenangan itu terasa sia-sia. . . :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. : ichan...

      aku kira memang begitu, chan... sebab sayembara itu dibuat karena memang kondisinya sedang 'di ujung tanduk', jadi 'ia'-- katakanlah seperti itu-- membuat sayembara karena terpaksa (pertanyaannya: bisakah ia menerima 'pemenang' dengan cara yang suka rela? jangan-jangan terpaksa juga ... he he

      Hapus
  4. Assalamu'alaikum Mas, ketika menjengukmu ke sini sekarang.. aku teringat berpuluh-puluh malam lalu ketika kau bercerita sedikit sejarah ayahmu.. ah, bunga kamboja yang mekar itu wanginya akan selalu sampai ke mukena ibumu, ke sudut kelopak matanya dan hatinya yang selalu ayu...
    indah seperti selalu Mas ceritamu,

    Wassalamu'alaikum,

    BalasHapus
    Balasan
    1. : mbak Lail ... makasih selalu kunjungannya, ya ...

      (seingatku, aku membuat cerita ini karena sedang teringat alm ayahku. Yang kupikirkan adalah, bagaimana tentang ibuku)

      Hapus