Kamis, 21 Juli 2011

Menghadap ke Tembok


 Aku menemukanmu sekarang. Aku berada  di situ, tapi jauh kau tinggalkan  di balik punggungmu. Kau sedang menghadap ke tembok dan aku menghadapi punggungmu. 

ilustrasi: tjak, photo remake (sumber:eserra.wordpress)

 Saat-saat seperti itu, udara yang susah mencair menjadi kosong yang menggumpal. Di jarak pandang itu, tabir justru menebalkan kebekuan. Semua benda tak bergerak, kecuali cicak yang tertatih robotik menjauh. Aku menemukan sepasang dua. Dari jenis yang berlainan mereka bercengkrama. Tapi tak ada sentuhan. Tak terdengar suara, kecuali bunyi nging kecil menyengat; nyamuk yang menggoda cuping telingku. Kubayangkan darah dalam sekali tepuk, dengan lima jarimu yang panjang kurus-kurus. Bergerak-gerak memetalkan energi lembutmu ke tembok. Hasilnya adalah lukisan dengan pola bercak tak teratur. Warnanya merah dengan garis ungu searah terseret ke bawah. Menjadi mural kecil, goresan  yang berakhir di tanganmu.
Redupnya lampu, menciptakan lanskap coklat kehitaman. Punggungmu yang melebar, tempat paling nyaman menidurkan kelelahan. Punggung itu pernah menjadi sebuah tembok. Dan aku di baliknya. Merasa nyaman, berlindung dari sengatan tatapan mata. Jika tatapan mata itu salah satunya kuperoleh darimu, aku kerap berharap agar segera lindap. Memelankan langkah, menjadi bayang-bayang yang segera hilang ketika kau mulai menoleh. Aku bayang-bayang dan terbiasa di balik punggungmu, bukan?
Sudah pukul berapa, ketika  pendar bintang jatuh merobek mata malamku? Kau tahu, kalian semua paham, bahwa aku sudah mulai bermalas-malasan sekarang. Kurang antusias. Sementara, menurut buku-buku romansa keberuntungan telah ditembakkan dari langit. Kau pernah paham tentang meteor keburuntungan? Kau hanya punya peluang sekian detik menggumamkan doa-doa bagus. Selepas itu, matamu yang sembab  akan melepaskan bintik-bintik bening. Setitik dua yang sedemikian cepat mencair. Ini masih dalam satu dekade. Ketika semua ini terjadi, tanpa sadar kau sebenarnya telah melihatnya dalam sebuah tayangan ulang: sebuah film dengan durasi sepanjang hidupmu, dengan lagu-lagu yang cepat kau ingat dan cepat kau muntahkan ketika kau tergiring masuk ke dalam dekade yang lain. Lagu lama, Saudara, sebuah media potensial untuk memproduksi air mata melankoli.
Tapi benar, aku bahkan telah menemukanmu sekarang. Terbentang lebar pada sebuah layar. Di depanmu masa depan menawarkan warna-warna dengan nuansa putih. Gradasi kuning, merah muda, coklat muda, ungu elektrik yang semuanya berakhir ke satu muara warna; putih metalik. Sementara, aku sendiri menjadi lanskap coklat kehitaman, sama-sama tak bergerak, jauh di balik punggungmu.
Ya, memang tak ada yang bergerak disini. Kecuali aku yang berjalan menghampirimu dan membisikkan sesuatu 'lihat aku dan bergeraklah'. Tetapi kurasa aku mulai tak menginginkan itu sebenarnya. Bagaimana mungkin aku menyuruhmu bergerak, sementara -jika itu terjadi- aku toh, tak sanggup menahan laju gerakmu. Jadi kubiarkan saja kutahan mataku dengan hirup udara malam sedalam-dalamnya. Suara nging makin mengecil, jejak cicak mengesankan percumbuan yang batal, mural kecil di tembok itu terhapus batas pandangku. Di detik terakhir, mata malamku tertutup selaput kehitaman yang merebah landscape.
Ah, punggungmu masih memusuhiku, kukira. Aku menangkapnya lewat bola mata yang mulai keruh, mataku sendiri. Lamat-lamat ada yang bergerak, gerakku sendiri. Lantas kudapati engkau terbujur kaku, pulas seperti akhir perjalanan yang melelahkan. Seperti sesuatu yang berujung: potongan kematian yang lonjong.
 Mataram, 2006

(cerpen Tjak S Parlan, pernah dimuat di Harian Lombok, Mataram)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar