Rabu, 27 Juli 2011

Lumba-Lumba dan Saya


Kepalanya ditumbuhi samun liar yang mengganggu pandangan mata. Setiap kali  jemari kurusnya yang lebih kuning dibanding bagian tubuh lainnya  itu menggapai kepalanya, remah-remah salju luruh. Saya tahu, ia bukan sekadar menggapai, tapi menggaruk. Saya juga tahu,  jauh di ruang sana, di balik  kepalanya yang teguh ditumbuhi samun liar itu, ada ribuan ngengat, ulat bulu,  bahkan ular cobra yang terus mengganggu dan ia ingin membantainya dengan cara yang kejam lebih dari menggaruk.

***

ilustrasi: tjak, montase foto net & dok. pribadi

Tidak besok atau lusa. Sebab hari ini cuaca gerah dan kurang pantas membicarakan warna langit. Sementara, ia bersikeras dengan keinginannya. Caranya yang super halus, tak kentara tapi persuasif dan memiliki peluang untuk memikat siapa saja itu, menghancurkan keinginan saya untuk menyinggung cuaca.
Sewaktu saya  menghindari tatap matanya, saya masih bertahan memuja ungu elektrik yang membungkus kepalanya. Sempat malah, saya menghitung jumlah tai lalat di belakang telinganya lewat rambutnya yang tersibak oleh  dua ujung yang bertemu itu. Hari itu ia menghias rambutnya dengan slayer warna ungu. Di detik ini saya mulai meraba keinginannya.
Saya meraba keinginannya dan benar. Benar, bahwa hari ini, minggu terasa cerah sekaligus gerah. Ia melolos soft drink inovasi terbaru dengan huruf-huruf warna pink dari daypack. Membuka tutupnya sekali tekan, menghirupnya dengan pipet warna putih, menyodorkan padaku setelah sehirup dua yang mendalam dan aku menghirup sedalam ia. Tak ada aroma lipstik. Lipstik  baginya adalah sekali waktu. Mungkin di sebuah pesta malam dengan gaun malam merah marun. Pesta yang selalu menjauhkan saya dari pesta itu sendiri dan ia.
Dan ia, hari ini akan menjauhkan saya dari minggu yang tenang dengan kartun sembarangan yang saya sewa setiap sabtu sore. Lihat saja, ia mulai bersiap-siap menuju kubangan air, siap menari lumba-lumba.

***

Kau tahu,  itu hanya setengah jam yang lalu. Saat ini saya dan ia tiba di setengah jam berikutnya. Waktu yang mengantarkan saya kerap kehilangan tiga buah tahi lalat di belakang telinganya. Setengah jam yang merubah slayer ungu elektrik itu menjadi bandana di kepala saya. Setengah jam berikutnya yang membuat ia gelisah dalam antrean di depan pintu kamar mandi. Waktu yang membuat saya menatap senyum malu-malunya memamerkan kostum sempit untuk berendam, berderak-derak seperti lumba-lumba yang disorak. ”Tak apalah, di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Jadi, berenanglah biar sehat,” begitulah kalimat yang pernah kudengar, meluncur tanpa beban dari celah bibir bagusnya. Lalu, byur! Kecipak air itu muncrat. Sebagian kecilnya mampir di wajah. Ada setitik dua dingin di wajah saya. Tiba-tiba ia terasa jauh. Saya mulai merindukan rumah dan latihan yoga di halaman belakang selepas menonton kartun lucu.
Tapi tidak kali ini. Tidak besok atau lusa. Besok adalah senin yang gaduh dengan pagi-pagi bersama ibu-ibu, tante, mbak, om, sahut menyahut memamerkan cerita weekend seperti para peneriak di lapangan sirkus jaman baheula. Lusa, lusa adalah kelanjutan dari senin yang mekanis hingga jumat yang terpenggal oleh aroma mistis. Kali ini, kali ini saya harus merelakan buku panduan yoga dan bentuk-bentuk serba elastis bergerak penuh imajiner di layar 14 inci.
Aha, bukankah di tempat ini, kali ini, saya juga menemukan gerakan-gerakan imajiner itu? Tanpa buku panduan malah. Tanpa uang sewa malah.

***

Saya membuka mata. Ia sempat mencandai saya dengan percikan air kolam. (Tentang yang satu ini-air kolam, khusus di tempat ini- ia sering mempromosikan: tanpa kaporit. Tapi, masih di tempat yang sama, saya terbangun oleh aroma itu. Aroma kaporit yang menjauhkan saya dari ingatan tentang yoga: gerakan-gerakan yang belum genap saya hafal). Saya melihatnya tersenyum. Tuhan, kuatkan saya. Kuatkan saya dari godaan lumba-lumba yang sebenarya tidak pernah punya niatan untuk menggoda ini.)   
Benar. Pertama-tama aku melihat ia. Ia timbul tenggelam. Lalu gaya dada, gaya punggung, gaya kuda nil, gaya putri duyung, gaya katak, gaya bebek, gaya timbul tenggelam, semakin tak karuan gayanya, menari-nari, meloncat-loncat, menyembur, menghirup, melepaskan. Ia tidak sendirian akhirnya. Ada satu, dua, tiga, empat, lima, sepuluh dan seterusnya menjadi ”banyak ia”.  Sementara di sepanjang bibir garis empat persegi panjang itu, puluhan mata berbinar-binar. Tempik sorak bergemuruh bercampur teriakan-teriakan dengan aksen kontemporer. Ayo, Kamu Bisa! Pinggulnya, Dong, Pinggulnya. Goyang Dada! Menari, Menari! Loncat! Terbang! Goyang Trio Macan! Pantatnya Mann...nna!
Riuh itu terus berlanjut. Sambung menyambung menjadi meriah. Dalam sekian jenak tangan saya bergerak. Turut memeriahkan riuh  seperti menonton tarian lumba-lumba.

***

Saya merasai telapak tangannya, basah-basah mengusap punggung tangan saya. ”Saya sudah selesai, ”katanya. Saya mengusap mata saya, terus menatapnya dengan linglung. Waktu saya melemparkan  pandangan ke sekeliling, tinggal satu dua yang ada di sana. Satu dua anak kecil sedang dilatih renang ala kadarnya oleh mama dan papanya. Sisanya beberapa turis setengah telanjang menggelar diri di bangku-bangku kayu. Sisanya lagi adalah kami: aku dan ia. Ia menggoyang-goyangkan tubuh saya, meyakinkan dirinya akan kesadaran saya.
”Saya sempat bermimpi tadi.”
”Dasar pemimpi!”
”Dasar perenang. Lumba-lumba. Penyuka air. Putri Duyung...”
”Biarin! Ngomong-ngomong, mimpi apaan tadi?”
“Lumba-lumba.”
“O, ya. Seperti apa?”
“Mirip-mirip kamu. Seperti miniatur-miniatur surfing di kamarku, kamu pernah lihat.”
Dolpin. Masih kamu simpan?”
”Saya menghargai kenangan.”
”Huweeek!”
Waktu ia mencandai saya dengan tiruan orang muntah itu, tangannya cekatan melolos sisir  kecil dari daypack-nya. Lalu ia mulai menggaruk. Aku mencium harum sampo dengan baluran tipis kaporit dari rambutnya. Tiba-tiba saya ingin menekuninya, setiap detail geraknya. Saya melihat  kepalanya ditumbuhi samun liar yang mengganggu pandangan mata. Setiap kali  jemari kurusnya yang lebih kuning dibanding bagian tubuh lainnya  itu menggapai kepalanya, remah-remah salju luruh. Saya tahu, ia bukan sekadar menggapai, tapi menggaruk. Saya juga tahu,  jauh di ruang sana, dibalik  kepalanya yang teguh ditumbuhi samun liar itu, ada ribuan ngengat, ulat bulu,  bahkan ular cobra yang terus mengganggu dan ia ingin membantainya dengan cara yang kejam lebih dari menggaruk.
Saya benar-benar tahu, dulu-dulu ia tak pernah seperti ini. Ia hanya berbuka kepala sekali waktu saja. Bentuk wadagnya begitu terjaga oleh kesopanan.Belakangan ketika ia berniat membuka  bungkus kepalanya, alasanya jadi macam-macam. Gerah. Ketombe. Lembab. Rambut pecah-pecah. Sudah muhriman. Bla, bla, bla. Sejak itu saya menjadi sok tahu: ia sebenarnya sedang tidak bahagia. Kau tahu sendiri, belakangan ia selalu  mengisi waktu liburnya dengan berenang. Untuk yang satu ini saya hanya bisa menebak: 1) ia pernah jatuh cinta pada lumba-lumba dan ingin menirukan gayanya, 2) di kepalanya berkecamuk ribuan getir kenangan, dan berendam sementara ini dirasa cukup efektif  untuk membunuhnya, 3) mantan pacarnya yang mantan atlet renang  itu kecanduan narkoba gara-gara ditelantarkan oleh KONI pusat, ia kecewa dan memilih berpisah.
”Kamu tahu, nggak?” suaranya membunuh lamunanku.
”Iya. Kenapa?”
”Ini terakhir kalinya aku begini.”
”Tidak olahraga? Saya tidak percaya.”
”Olahraga selalu baik. Ya, terserahlah. Tapi yang jelas, besok aku mulai mengajar di sebuah yayasan. Aku harus memakai ini. Aku rindu dengan pakaianku yang dulu, ” ujarnya dengan mimik serius.
”Bukan melulu karena itu, kan?”
”Sudah kupikirkan. Aku akan mulai lagi. Pelan-pelan. Tapi aku akan serius  kali ini.”
Seketika  saya diam. Selebihnya, saya hanya menggaruk-garuk kepala. []

 Mataram, 11 Desember  2006
(Cerpen Tjak S Parlan)

3 komentar:

  1. hayooo.. Mas Lan merasa kehilangan ya? :D

    BalasHapus
  2. iya : Natha .... aku bahkan hampir kehilangan password ...

    ternyata kau menjenguk rumah sore ...
    kau pasti suli yang berpayung itu ...

    thank, kunjungannya.

    BalasHapus
  3. Assalamu'alaikum Wr. Wb.
    Mas, blogmu jauh lebih hidup ketimbang blogku...
    sebab aku benerbener gaptek untuk mengelolanya...
    selamat terus berkarya ya,
    Syukran

    Wassalamu'alaikkum Wr. Wb.

    BalasHapus