Minggu, 29 Juli 2012

Sebuah Rumah di Bawah Menara



ilustrasi: e-paper pikiran rakyat/crop


 Sebuah Rumah di Bawah Menara

cerpen: Tjak S Parlan


Di tempat ini, senja segera saja membakar kaki cakrawala. Di batas pandang matanya yang mulai lamur oleh usia, ia menyaksikan kapal-kapal itu datang dan pergi. Kecuali senja, tak ada satu pun dari yang datang dan pergi itu berkenan singgah di tempatnya. Sudah sangat lama: waktu melata di sebuah menara, sebuah rumah kecil, juga seorang penghuni.

******


Senja mulai tinggi. Ia segera menuruni tangga. Sekitar 60 atau 70 pijakan akan membawanya sampai di rumahnya yang mungil. Sebenarnya hanya sebuah bilik kecil di bawah tangga yang berputar menuju puncak menara. Ia lepaskan nafasnya satu dua. Berbelok ke sebuah pintu yang dibiarkan menganga begitu saja. Lampu 25 watt menyala. Menerangi selembar karpet warna biru laut. Sebuah kasur bertilam biru, sebuah bantal sedikit kumal, menggelepar di pingir kamar. Ia menyisakan sedikit tempat di pojok untuk sebuah meja kecil. Di atas meja  berserakan buku-buku juga tumpukan  koran lama. Sebuah televisi hitam putih menayangkan drama picisan dengan rating yang mengalahkan program-program berita yang disukainya.
Layar hitam putih itu segera dimatikan.. Tak ada yang menarik. Tangannya segera berpindah memutar-mutar gelombang radio. Beruntung, transistor tua itu masih setia menemaninya. Pada malam-malam tertentu ia bisa mendengarkan siaran wayang kulit dari RRI. Atau  ketika hatinya tengah muram dirajam sepi, ia akan memilih lagu-lagu  keroncong dengan sepenggal-sepenggal sair yang ditirukannya.
Sekali waktu, tempatnya kini pun melangutkannya dalam beragam kenangan. Keningnya berkerut-kerut seperti mengingat-ingat sesuatu. Matanya segera berlama-lama menekuni sebuah foto yang terselip di dompetnya. Sebentuk wajah dengan senyum yang selalu mengingatkan dirinya pada orang-orang terdekat yang menjadi miliknya. Terkadang ia tersenyum. Berbinar-binar matanya. Ada satu dua harapan yang sedang ia bangun menggantung-gantung di pelupuk matanya.
“Lebih tinggi dari pohon kelapa. Di atasnya ada lampu besar yang selalu menyala.”
“Besar mana dengan bola plastik?”
“Pokoknya besar. Sebesar bola plastik yang besar.”
“Besar mana dengan bulan?”
“Ya, sebesar bulan.”
Esok harinya, ia akan memergoki anaknya bercerita kepada anak-anak tetangga tentang rumah ayahnya. Rumahnya punya menara. Menaranya punya lampu. Lampunya terus menyala. Nyalanya  terang seperti bulan.
Pada hari yang lain, ia akan bercerita tentang kapal-kapal yang hilir mudik di depan rumahnya. Kapal-kapal itu begitu berjasa mengantarkan para penumpang sampai tiba di rumahnya. Bertemu dengan kawan-kawanya. Berkumpul dengan keluarga. Menjenguk anak-anaknya. Di dalam kapal ada seorang nakhoda yang gagah berani. Yang dengan gigih mengarungi samodra.
“Aku juga ingin jadi nakhoda,” ujar anaknya suatu hari.
“Bagus. Makanya jangan nakal kalau ayah tidak di rumah. Kasihan ibu.”
Pada malam -  malam berikutnya ia bercerita tentang  petualangan Marcopolo. Ia juga berkisah tentang Columbus. Ia juga mendongeng tentang semua laki-laki yang berusaha menjelajahi benua dengan menggunakan perahu atau kapal laut.
Si kecil pun akhirnya terlelap bersama mimpi heroik menjelajah  dunia.
*****

Tapi ia harus kembali. Lampu di puncak menara itu harus tetap menyala.  Diputuskannya untuk tetap tinggal. Sebab selain dirinya, semuanya satu demi satu sudah pergi. Terkadang, ia juga berharap: barang satu dua kapal yang melintas di depannya akan berhenti untuk singgah.  Dilepaskannya sekoci itu dari tambatan. Ombak pecah menjadi buih manakala menerjang perahu kecil yang dikemudikannya. Bersama bias lampu mercusuar,  ia terus berputar mengelilingi rumahnya sendiri. Laut  tenang. Di langit, bintang  kerlap-kerlip menerangi malam.

Ini malam yang ke sekian kalinya. Cuaca sedang bersahabat. Biasanya pada malam-malam seperti ini ia akan berkeliling barang beberapa menit. Tetapi sudah lama ia tak melakukan  wisata kecil-kecilan. Berperahu mengitari rumahnya sendiri. Sekadar membunuh kerinduan pada orang-orang  yang dicintainya. Jika dingin sudah mulai terasa, ia mendayung perahu itu keras-keras. Hingga peluh di seluruh tubuh akan membuatnya merasa hangat.  Lelah yang menggerogoti tulang dan tubuhnya sekembali di biliknya nanti, membuat matanya cepat mengantuk. Ia akan tertidur pulas. Mimpi bercengkrama dengan anak-anaknya. Mimpi bercinta dengan istrinya. Mimpi berkendara kapal pesiar bersama keluarga kecilnya. Sepuluh tahun kerinduan, bahkan lebih: dengan apa menuntaskan rasa kangen?

Tentu saja. Ini  malam yang menyenangkan untuk melaut. Tapi ia lebih senang teronggok di biliknya sendiri. Berhitung tenaga dan perasaan. Membandingkan dulu dan kini. Dipilihnya pulau kecil terpencil ini karena sebuah alasan. Ia sangat mencintainya. Tetapi harus menunggu.

“Kau masih bisa melihat tempat itu. Sebuah rumah bermenara tinggi. Dengan lampu yang selalu menyala di puncaknya,” ujarnya suatu senja.

Istrinya hanya bisa menunduk. Air mata yang bertahun diperam di dasar ketegaranya, senja itu menetes di sebuah dermaga.

“Aku terpaksa melakukannya. Kita tak pernah menginginkan keluarga seperti ini,” ujar perempuan yang akan meninggalkannya.

Erat-erat ia mengenggam tangan istrinya. Sebuah kapal tengah menunggu di pinggir dermaga. Satu persatu, orang – orang yang akan pergi itu mulai lenyap di telan buritan. Sebentar lagi perahu raksasa itu lamat – lamat akan pergi. Membawa orang terkasih bersama para calon TKI lainnya.

“Kau pasti akan melewati tempat itu. Sebuah pulau kecil. Sebuah rumah bermenara. Aku selalu menyalakan lampu di puncaknya.”

Ia tak tahu apa yang mesti dikatakan. Mesin mulai menderu. Kapal akan segera berangkat. Ia lepaskan genggaman dari tangan istrinya. Senja turun membakar kaki langit di ufuk barat. Langkahnya satu-satu meninggalkan dermaga yang beranjak lengang. Sepanjang jalan ia terus berfikir tentang orang-orang  yang  pergi.  Setelah anak satu-satunya dipungut oleh Eyang Kakung dan Eyang Putri, ia memutuskan untuk berhenti sebagai penjaga mercusuar dengan harapan bisa sering berkumpul dengan keluarga. Tapi sayang, ia selalu harus kembali. Menyalakan lampu pemandu itu. Saat janjinya belum terpenuhi, ia pun harus melepaskan genggaman dari tangan istrinya.

Keningnya kembali berkerut. Matanya belum berhenti menekuni sepenggal foto yang dengan hati-hati ia genggam. Seolah-seolah ia selalu ingin menjaganya. Sebentuk wajah teduh kekanak-kanakan. Ia ingat percakapannya. Ingat anaknya sewaktu menanyakan tentang rumah bermenara. Ingat lampu yang selalu harus menyala. Membayangkan seseorang tiba-tiba datang dan memanggilnya ayah. Mungkin seorang nakhoda seperti yang selalu diucapkan oleh anaknya.

“Berapa usiamu?” gumamnya lirih. Dikecupnya wajah itu sebelum kembali ia masukkan potongan foto kenang-kenangannya dalam dompet. Sungging bibirnya tipis.

“Kita pasti telah menjadi Kakek Nenek. Kapan terakhir kali kau temui anakmu. Anak kita?” ia bergumam sendiri. Lalu pasrah pada sebongkah kasur di sudut ruangan.

Di luar, malam terus membubung. Dingin melata hingga ke bilik, merayapi  tubuh dan tulang-tulangnya. Ia sudah tak muda lagi. Angin malam membuatnya lebih cepat mengantuk.

********

Senja merah. Lelaki tua, di tangannya menghunus sebatang kretek tengah menyala. Dalam-dalam ia menghisap rokoknya. Meneguk sisa kopi dalam cangkir hingga tandas. Ia sempat berfikir untuk turun. Masih ada sedikit air panas, gula dan kopi di biliknya yang kecil di bawah menara. Tapi tempat ini cukup tinggi untuk usianya. Ia berfikir ulang untuk turun dan menyeduh yang baru. Lagi pula, dirinya seolah takut ketinggalan matahari. Ia putuskan menunggu hingga matahari berenang di ufuk barat. Ruap-ruap awan terbakar memantulkan merah berkilauan pada warna laut yang semula hanya biru. Di tempat ini, senja segera saja membakar kaki cakrawala. Di batas pandang matanya yang mulai lamur oleh usia, ia menyaksikan kapal-kapal itu datang dan pergi. Kecuali senja, tak ada satu pun dari yang datang dan pergi itu berkenan singgah di tempatnya. []


(dimuat di harian Pikiran Rakyat, 29 Juli 2012)


2 komentar:

  1. saya tak ingin berumah di sana :(

    BalasHapus
  2. Bikin saya gregetan pingin nulis, tapi mentok, serasa tak punya kata-kata.

    Keren, Om!

    BalasHapus