ilustrasi: dok-ist/SHNEWS.CO |
Jukung*
cerpen: Tjak S Parlan
cerpen: Tjak S Parlan
_____________________
Larunglah aku. Oleh
hujan yang mengepung seluruh kota. Hari ini, hujan yang melarungkanku
berhenti, pada sebuah senja di tikungan jalan. Sepertinya sebuah
pertigaan. Tetapi di kota mana, tak perlu bertanya, kukira.
Sebab aku
tak diajari untuk mengeja, membaca tanda-tanda, lalu kumaknakan
melalui gejala, firasat, atau sekadar teka-teki yang membuatku
bertanya-tanya. Tak. Tak seperti itu aku diciptakan. Melainkan hanya
untuk hanyut. Dilarungkan oleh entah. Siapa saja yang dengan
tangan-tangannya akan menjelmakanku sebagai perahu tanpa awak. Dan
lautan, apakah aku punya lautan?. Mungkin bengawan, danau, telaga,
selokan. Atau sekadar sesuatu?
•••••
Aku mendengar
seorang ibu menuturkan satu kisah pada anaknya. Nuh pergi berlayar.
Seperti juga laki-laki lain yang meninggalkan ibu, anakku. Ia juga
meninggalkan anaknya.
Aku ingat sesuatu. Yang berpalka itu. Yang ditancapkan tiang pada perutnya. Suatu hari nanti, palka itu akan melebar. Dan tiang itu akan menjulang tinggi. Hampir menyamai tingginya pohon kelapa. Dari sana kamu bisa berteriak, mengabarkan pada semua yang di darat; aku sudah datang.
Bocah itu pun
berlari-lari. Membawaku menuju sebuah samodra kecil. Tapi di
sini tak ada ombak. Tak juga kulihat buih yang putih, yang
pecah-pecah lalu berantakan di gigir pantai. Aku tak sanggup memilih.
Sebab lelaki kecil itu sudah kepalang melarungkanku di tempat ini.
Senja memanggang bukit-bukit di sebelah barat. Dari sini masih bisa
kulihat lelaki kecil itu menatapku sedih. Apa dia juga merasa
kehilangan?Harusnya ia masih di sini. Memandangiku sambil bersorak.
Berteriak; hoiii! Seperti laki-laki lainnya memberi sapaan hangat.
Mengabarkan pada siapa pun yang dijumpainya; aku telah berhasil
mengarungi selat dan membawa rezeki untuk para perempuan dan
anak-anak yang menunggu di rumah. Ah, aku kira ia memang hanya
laki-laki kecil. Ia hanya ingat, Nuh pergi berlayar. Seperti juga
laki-laki lain yang meninggalkan ibu. Ia juga meninggalkan anaknya.
•••••
Waktu benar-benar berlalu sangat cepat.
Aku segera saja rapuh. Masih kuingat kenangan kanak-kanak sewaktu
tangan-tangan kecilnya terkadang usil melukaiku. Mengambilnya dari
sembarang tempat. Merenggutnya dari akar tempat aku kokoh berdiri.
Lalu melubangi perutku. Menggores-gores tubuhku.
Menancapkan tiang,
mengembangkan layar. Melebarkan palka. Pada senja yang dingin mereka
menggiringku ke sebuah selat. Terkadang hanya sebuah bengawan. Kali
kecil, selokan atau sungai-sungai bercampur sampah, bermacam kotoran,
bau amis, anyir dan berlendir-lendir buangan limbah.
Aku terdampar di
mana? Terkatung-katung semalaman tanpa
nakhoda. Layarku sebentar kembang, sebentar
diterbangkan angin yang tak mampu kulawan. Terkadang putus harap; aku
larat bersama samudra luas nun jauh di sana.
Pernah juga aku kandas.
Pantatku penuh luka-luka yang menganga. Sekujur tubuhku kaku. Aku
bahkan bergeming. Mereka mulai ramai-ramai menyeretku ke tepian. Tapi
sebenarnya aku lebih sering diabaikan. Teronggok begitu saja tanpa
kenangan. Tanpa sejarah layaknya barang-barang antik yang dipelototi
di museum.
Pada saatnya usia
uzur akan menjemputku. Sebongkah benda belaka. Mula-mula segerombolan
rayap yang menggerogoti tubuh sebongkah kayu ini dari hari ke hari.
Pada musim panas, kulitku melepuh. Rontok satu per satu. Musim
dingin, tubuhku lebur bersama tanah. Menyatu, bersenyawa.
Lalu mereka
menguraikanya. Lewat humus—mereka sering menyebutnya
begitu—ditumbuhkanlah kuncup dari pokok kecil yang terselamatkan
sebelum ajal. Hingga waktu melewati berkali-kali musim. Berkali-kali
purnama. Beribu-ribu pasang dan surut. Ombak menjilat-jilat dengan
lidahnya. Sekali waktu menyentuh pohonku.
Aku pokok yang kecil;
kemudian membesar, tumbuh dan terus tumbuh. Aku rindang.
Berdahan-dahan. Beranting-ranting. Kadang berbuah. Tubuhku kekar,
kokoh menancap di gigir pantai, kadang di tengah belantara. Lalu mereka datang.
Merambat pada tubuhku. Memilih bagian dahan yang paling kuat.
Menggoyang-goyangkannya sambil berteriak, melambai-lambai. Aku tahu,
mereka telah menemukan layar-layar yang terkembang nun jauh di sana.
Apakah laki-laki itu sudah pulang? Laki-laki yang meninggalkan
perempuan dan anak-anaknya.
Sekali
waktu—sebenarnya ini pasti akan terjadi—mereka datang kembali.
Orang-orang yang melukai tubuhku. Dengan raung gergaji, dengan
kampak, dengan parang. Patah dahan-dahanku. Remuk ranting-rantingku.
Luruh seluruh daun. Lepas semua kulitku. Aku telanjang seperti babi
guling dalam pesta beraroma tuak. Tangan-tangan kekar bersenjata
merayakan tubuhku.
Mereka mulai lagi.
Membikin lubang. Menggali tubuhku dengan
kapak. Lantas menyerutku. Nah! sekarang saatnya menancapkan tiang.
Mengendalikannya dengan layar. Melebarkan palka. Memoles-moles
dengan sedikit ukiran, atau sekadar coretan. Sedikit yang lebih
perhatian, akan memberiku sebuah nama.
Sekadar sebuah sebutan untuk
menandaiku. Lalu tibalah hari itu ketika angin membawa apa pun
menuju laut lepas. Inilah saatnya, seorang laki-laki akan
menunggangiku. Wajahnya berkali-kali tengadah ke langit. Ia membaca
arah bintang, nasib baik, maut, juga keberuntungan.
•••••
Aku ingat seorang
laki-laki di bibir selat. Waktu itu, kamu
masih kecil anakku. Belum pernah merasakan bagaimana nyamannya pulang
berlayar. Belum mampu menahan gemeretak gigil pada gigimu. Bahkan
jiwamu masih terlampau rapuh menari-nari dalam jilatan ombak.
Sementara, pada langit yang menyembunyikan bintang-bintang terbayang
sebuah daratan. Tempat aku dan kamu tengah menunggu. Kau tahu, Nak?
Di tempat ini setiap laki-laki harus berlayar.
Tidak. Tidak akan
seperti Nuh. Karena laki-laki itu tak pernah kembali. Banjir bandang,
telah memaksanya untuk menyelamatkan diri dari sebuah kedurhakaan.
Nuh pergi berlayar. Seperti juga laki-laki
lain yang meninggalkan ibu, anakku.
Ia juga meninggalkan anaknya. Kau
pasti tahu. Dari sorot matamu jelas kutangkap; kita tak pernah
durhaka pada siapa pun. Jadi berharaplah terus pada selat; bahwa
suatu saat laki-laki itu akan berdiri pada tiang menjulang. Lalu
dengan gagahnya akan memberikan kabar kepada kita; aku telah kembali.
Aku ingat seorang
laki-laki di bibir selat. Kamu sudah tumbuh
besar anakku. Bagaimana? Apa kau juga merasa letih menghitung berapa
kali pasang, berapa kali surut? Berapa lama lagi kau akan menunggu?
Tentang laki-laki di bibir selat itu. Tentang sebongkah jukung yang
rapuh. Yang telah lama digerus ombak. Disingkirkan dari takdirnya.
Dilepaskan dari layarnya. Dipisahkan dari palkanya. Dipatahkan dari
tiangnya.
Setelah itu, ibu
menutup ceritanya.
Aku menjelma. Jadi
sebuah pinisi kecil. Laki-laki kecil itu menyebutku jukung. Senja
tadi ketika matahari menyetubuhi bukit-bukit di sebelah barat, ia
meninggalkanku di tengah hujan yang mengepung seluruh kota.
Melarungkanku. Aku kira ini sebuah selat. Atau mungkin bengawan.
Danaukah? Atau sungai? Bukan, ternyata bukan itu. Ini hanya sebuah
saluran kecil di tengah-tengah kota yang kumuh. Aku
karam bersama air limbah.
Laki-laki kecil itu
terus menatapku. Matanya berharap pada
birunya laut.
_____________________
dimuat di Sinar Harapan, 14 Juli 2012
hampir terlewatkan...:)
BalasHapuskaram bersama limbah? yah kenapa dijadiin tempat sampah? :(
BalasHapus